Ada banyak hal yang kita anggap remeh temeh yang menjadi persoalan besar di kemudian hari. Saya yang sangat berantusias dengan segala pola tingkah laku masyarakat yang kebanyakan terjadi di sekitar saya, memunculkan berbagai pertanyaan dan kritikan akan hal kebiasaan-kebiasaan yang telah terjadi tersebut. Bagi saya, ada banyak hal yang menarik untuk dipelajari dalam ilmu bersosial di tengah masyarakat. Sebab,,, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam masyarakat akan dapat menjadi sebuah budaya, dan budaya tersebut bisa jadi terangkum di dalam tatanan adat, dan adat sendiri merupakan salah satu sumber hukum positif di Indonesia.
Kebiasaan yang kali ini menarik untuk di kaji adalah budaya "memberi hadiah".
Dari kecil kita sudah di bina untuk melakukan sesuatu dengan di iming-imingi hadiah, "Nak...kalau kamu dapat peringkat satu, Ayah akan membelikan kamu sepeda" ini adalah salah satu contoh, atau paling tidak dengan mengharapkan imbalan/upah ketika Ayah menyuruh kita belanja membeli sesuatu. Hal inilah yang membuat kita menjadi "manusia berhadiah". Bekerja dengan mengharapkan hadiah.
Lama kelamaan ini akan menjadi kebiasaan yang buruk, kenapa?
Karena, budaya memberikan hadiah saat ini sudah di salah gunakan. Seperti, ketika orang tua memberikan hadiah kepada kepala sekolah saat musim penerimaan siswa baru dengan lebel "tanda terimakasih" Apakah hal ini diperbolehkan?
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) pemberian hadiah kepada pejabat tinggi, pejabat berwenang, dan pejabat lainnya di artikan dengan "GRATIFIKASI", sama hal nya dengan menyogok, dan ini dapat di ancam dengan pidana.
Selain itu, budaya berhadiah ini dapat juga mengakibatkan manusia bekerja atau melakukan sesuatu itu dengan rasa tidak ikhlas karena mengharapkan hadiah, bukan pahala! bukan keridhoan Allah SWT! Ini menjadi permasalahan kecil yang krusial, kenapa? Masih ingatkah anda dengan tugas PPKN/PKN/KWN zaman SD dulu yang bertemakan "SUKA RELA"? Ini sudah jauh dari diri kita. Padahal melakukan sesuatu demi kebaikan adalah tugas kita bersama tanpa mengaharapkan imbalan apapun.
Terlebih lagi itu terjadi pada pelayanan publik, sudah selayaknya seorang Kepala Sekolah menerima siswa yang di rasa pantas dan mampu untuk masuk di sekolah yang ia Bina. Tidak mesti di kasi hadiah! upah! dan lain sebagainya. Dengan begitu pun, sang Kepala Sekolah telah dapat turut membantu mewujudkan cita-cita Negara Indonesia, yang terangkum dalam Pembukaan UUD 1945, yakni Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
Bukankah Kepala Sekolah juga akan turut dikenang sebagai para pahlawan tanpa tanda jasa?
Masih pantaskah Kepala Sekolah dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa?
Hal ini kembali kepada apa yang telah diperbuat oleh Kepala Sekolah tersebut. Akan ada banyak nama yang patut untuk dikenang dalam sepanjang masa, hanya saja kita lah yang harus memilih, apakah nama kita akan dikenang sebagai suatu kebaikan atau sebagai suatu kejahatan.
Jadilah "Manusia Berpahala" yang bekerja, melakukan sesuatu tanpa mengharapkan hadiah/upah/dan lain sebagainya. Cukupkanlah hadiah pahala dari Allah SWT, karena hadiah yang Ia berikan lebih besar maknanya daripada apa yang kita dapatkan di dunia ini. Allah tidak hanya memberikan hadiah pahala bagi orang-orang yang senantiasa bekerja dengan ihklas, tapi Allah juga akan senantiasa memudahkan segala urusannya.
InsyaAllah...
Kebiasaan yang kali ini menarik untuk di kaji adalah budaya "memberi hadiah".
Dari kecil kita sudah di bina untuk melakukan sesuatu dengan di iming-imingi hadiah, "Nak...kalau kamu dapat peringkat satu, Ayah akan membelikan kamu sepeda" ini adalah salah satu contoh, atau paling tidak dengan mengharapkan imbalan/upah ketika Ayah menyuruh kita belanja membeli sesuatu. Hal inilah yang membuat kita menjadi "manusia berhadiah". Bekerja dengan mengharapkan hadiah.
Lama kelamaan ini akan menjadi kebiasaan yang buruk, kenapa?
Karena, budaya memberikan hadiah saat ini sudah di salah gunakan. Seperti, ketika orang tua memberikan hadiah kepada kepala sekolah saat musim penerimaan siswa baru dengan lebel "tanda terimakasih" Apakah hal ini diperbolehkan?
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) pemberian hadiah kepada pejabat tinggi, pejabat berwenang, dan pejabat lainnya di artikan dengan "GRATIFIKASI", sama hal nya dengan menyogok, dan ini dapat di ancam dengan pidana.
Selain itu, budaya berhadiah ini dapat juga mengakibatkan manusia bekerja atau melakukan sesuatu itu dengan rasa tidak ikhlas karena mengharapkan hadiah, bukan pahala! bukan keridhoan Allah SWT! Ini menjadi permasalahan kecil yang krusial, kenapa? Masih ingatkah anda dengan tugas PPKN/PKN/KWN zaman SD dulu yang bertemakan "SUKA RELA"? Ini sudah jauh dari diri kita. Padahal melakukan sesuatu demi kebaikan adalah tugas kita bersama tanpa mengaharapkan imbalan apapun.
Terlebih lagi itu terjadi pada pelayanan publik, sudah selayaknya seorang Kepala Sekolah menerima siswa yang di rasa pantas dan mampu untuk masuk di sekolah yang ia Bina. Tidak mesti di kasi hadiah! upah! dan lain sebagainya. Dengan begitu pun, sang Kepala Sekolah telah dapat turut membantu mewujudkan cita-cita Negara Indonesia, yang terangkum dalam Pembukaan UUD 1945, yakni Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
Bukankah Kepala Sekolah juga akan turut dikenang sebagai para pahlawan tanpa tanda jasa?
Masih pantaskah Kepala Sekolah dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa?
Hal ini kembali kepada apa yang telah diperbuat oleh Kepala Sekolah tersebut. Akan ada banyak nama yang patut untuk dikenang dalam sepanjang masa, hanya saja kita lah yang harus memilih, apakah nama kita akan dikenang sebagai suatu kebaikan atau sebagai suatu kejahatan.
Jadilah "Manusia Berpahala" yang bekerja, melakukan sesuatu tanpa mengharapkan hadiah/upah/dan lain sebagainya. Cukupkanlah hadiah pahala dari Allah SWT, karena hadiah yang Ia berikan lebih besar maknanya daripada apa yang kita dapatkan di dunia ini. Allah tidak hanya memberikan hadiah pahala bagi orang-orang yang senantiasa bekerja dengan ihklas, tapi Allah juga akan senantiasa memudahkan segala urusannya.
InsyaAllah...